INTISARI AJARAN AGAMA BUDDHA
Intisari dari Ajaran Agama Buddha
Pada
pembahasan materi agama Budha kali ini akan membahas mengenai inti dari ajaran
Budha, dimana pembahasannya tentang tidak berbuat kejahatan, berbuatlah
kebajikan dan sucikan pikiran untuk lebih jelasnya dapat disimak dalam
penjelasan berikut ini!
Seseorang akan mencapai kebahagiaan jika ia tidak berbuat
kejahatan dan mengembangkan kebajikan. Baik kebahagiaan di dunia maupun
kebahagiaan setelah kehidupan ini (terlahir di alam surga). Tahukah kamu bahwa
tujuan hidup seperti itu menurut ajaran Buddha bukanlah merupakan kebahagiaan
tertinggi. Kebahagiaan di dunia ini dan di alam surga masih temporer, bersifat
sementara.
Pada hari Purnama Sidhi di bulan Magha, Yang Maha Suci Samma
Sambuddha Gautama menyampaikan Ovada Pattimokkha. Walaupun Buddha telah lama
mencapai Parinibbana, senantiasa kami memuja. Semoga puja yang kami laksanakan
membawa manfaat demi kebahagiaan dan kesejahteraan untuk selama-lamanya.
3 Inti dari Ajaran Agama Buddha
v Tidak Berbuat Kejahatan, Ringkasan Vinaya Pitaka
v Berbuatlah Kebajikan, Ringkasan Sutta Pitaka
v Sucikan Pikiran, Ringkasan Abhidhamma Pitaka
A. Tidak Berbuat Kejahatan
Tidak berbuat
kejahatan berarti tidak melakukan perbuatan yang merugikan diri sendiri maupun
orang lain. Kriteria tentang baik dan buruk sesuai ajaran Buddha ialah apa yang
bermanfaat dan merugikan diri sendiri atau orang lain. Untuk memutuskan apakah
suatu perbuatan benar atau salah, baik atau buruk, tepat atau tidak tepat
dikerjakan, kita harus memeriksanya apakah ia melepaskan atau sebaliknya
membawa keterikatan pada hawa nafsu. Mengapa? Ketidakterikatan akan membawa
kebahagiaan dan kebebasan, sedangkan keterikatan mendatangkan penderitaan dan
belenggu.
Suatu perbuatan, entah dilakukan dengan jasmani, ucapan atau pikiran, yang dapat mengakibatkan kerugian atau menyakitkan, baik bagi diri sendiri, atau pihak lain, atau kedua-duanya, dinyatakan tidak baik; hasilnya penderitaan, akibatnya penderitaan. Perbuatan seperti itu tidak boleh dilakukan. Perbuatan yang baik tidak mengakibatkan kerugian atau menyakitkan, baik bagi diri sendiri atau pihak lain, atau kedua-duanya (Majjhima Nikaya.I,415-419).
Baik atau buruk jelas terkait dengan tujuan dan manfaat. Dalam pembicaraan dengan Pangeran Abhaya, diuraikan bahwa Buddha menahan diri untuk tidak mengemukakan hal-hal yang tidak bertujuan dan bermanfaat. Apa yang benar tidak perlu dikemukakan apabila tidak ada tujuan dan manfaatnya. Tetapi hal-hal yang benar walau tidak disenangi orang lain, harus dikemukakan apabila ada tujuan dan manfaatnya. Itu pun harus dilakukan pada saat yang tepat (Majjhima Nikaya.I,395).
”Perbuatan yang telah dilakukan dinyatakan tidak baik jika menimbulkan penyesalan. Orang yang bersangkutan akan menerima hasil perbuatannya dengan wajah berlinang air mata, menangis. Perbuatan yang telah dilakukan, dinyatakan baik jika tidak menimbulkan penyesalan. Orang yang bersangkutan akan menerima hasil perbuatannya dengan hati yang senang gembira” (Dhammapada. 67-68).
Penilaian seperti ini diakui dapat bersifat subjektif, relatif terkait dengan kesukaan seseorang, sehingga harus dilakukan secara hati-hati. ”Si dungu merasakan perbuatan jahatnya semanis madu sepanjang buahnya belum masak, tetapi ketika waktunya tiba, penderitaan pun akan datang padanya” (Dhammapada. 69)
Dalam terminologi Buddhis, tidak berbuat kejahatan berarti melaksanakan moralitas (sila) yaitu menjunjung tinggi tata tertib atau peraturan-peraturan kedisiplinan atau etika. Ada lima sila (Pancasila Buddhis) yang dianjurkan untuk dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Kelima sila tersebut, yaitu: 1) tidak melakukan pembunuhan, 2) tidak melakukan pencurian, 3) tidak melakukan pelanggaran seksual, 4) tidak melakukan kebohongan, dan 5) tidak mengonsumsi minuman keras.
1. Tidak melakukan pembunuhan
Seseorang
seharusnya tidak dengan sengaja menghilangkan (ataupun menyebabkan hilangnya)
kehidupan makhluk hidup apa pun. Kehidupan adalah hal yang paling berharga atau
penting bagi setiap makhluk. Ketakutan yang paling besar dirasakan oleh setiap
makhluk hidup ketika kehidupannya terancam bahaya. Tidak ada pelanggaran jika
tidak ada maksud untuk membunuh. Memperhatikan tikus-tikus, kecoa-kecoa,
semut-semut, dan lain-lain di dalam rumah, kadang-kadang kita merasa sulit
mempraktikkan sila ini. Bagaimanapun dalam hal ini kebijaksanaan harus
dilatih untuk mancari solusi sebaik mungkin, misalnya mencegah jalan masuk menuju
tempat penyimpanan makanan, memastikan bahwa serpihan/butiran-butiran makanan
yang tercecer di lantai disapu bersih, dan sebagainya.
2. Tidak melakukan pencurian
Syarat perbuatan
dikatakan mencuri adalah ada objek/barang milik orang lain, tahu tentang hal
ini, ada kehendak untuk mengambilnya, dan berhasil mengambilnya. Tidak
melakukan pencurian berarti menghindari terpenuhinya syarat-syarat tersebut.
Seseorang bahkan tidak seharusnya memungut sesuatu yang terjatuh (tercecer)
atau ditinggal pemiliknya jika ada kemungkinan ia akan kembali untuk mencarinya
atau mengambilnya, kecuali menyimpan dengan maksud mengembalikannya kepada
pemilik yang sebenarnya. Sila untuk para bhikkhu/bhikkhuni (vinaya) bahkan
melarang seorang bhikkhu/bhikkhuni mengambil apa saja yang tidak diberikan
kepadanya.
3. Tidak melakukan pelanggaran
seksual
Walaupun melakukan
perbuatan seksual di luar nikah kadang-kadang tidak merugikan orang lain, hal
tersebut menciptakan perasaan bersalah yang kuat yang akan mengakibatkan efek
yang sangat berbahaya bagi pikiran seseorang. Sangat mungkin dengan alasan ini,
penyakit-penyakit baru seperti AIDS muncul di antara homoseksual, dan
lain-lain. Biasanya, pelanggaran seksual mengakibatkan
pertengkaran-pertengkaran di antara suami-istri yang mengarah pada perceraian
dan menimbulkan banyak penderitaan bagi anak-anak, orang tua, dan sebagainya.
4. Tidak melakukan kebohongan
Tidak melakukan
kebohongan berarti menghindari dari ucapan yang tidak benar atau tidak sesuai
dengan faktanya. Di samping tidak melakukan kebohongan, seorang umat Buddha
juga seyogianya menghindari untuk tidak mengucapkan kata-kata kasar, memfitnah,
dan omong kosong.
5. Tidak mengonsumsi minuman keras
Seseorang
seharusnya tidak minum minuman beralkohol atau mengonsumsi obat-obat terlarang
karena akan menumpulkan kemampuan berpikirnya yang mengakibatkan melemahnya
daya ingat, tidak memiliki kewaspadaan, malas, dan secara berangsur-angsur
menjadi bodoh. Kebiasaan tersebut juga menyebabkan kegagalan bagi seseorang
untuk memenuhi tanggung jawabnya, memboroskan harta, pertengkaran dan bahkan
perkelahian, serta ketidaknyamanan dan gangguan-gangguan umum terhadap orang
lain, dan sebagainya.
Di samping lima
sila dasar ini, Buddha juga mengajarkan bahwa umat awam hendaknya menaati
delapan sila (Atthasila). Kedelapan sila atau peraturan ini dilaksanakan pada
tanggal-tanggal tertentu berdasarkan tarikh lunar (1, 8, 15, 23), atau
dilaksanakan kira-kira satu hari dalam satu minggu.
Lebih jauh lagi bagi umat Buddha, tidak berbuat kejahatan di sini dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu melalui perbuatan, ucapan, dan mental/pikiran. Dalam hal ini, tidak bebuat jahat melalui perbuatan adalah tidak membunuh, tidak mengambil barang yang tidak diberikan, dan tidak berbuat asusila. Tidak berbuat jahat melalui ucapan berarti tidak berdusta, tidak bicara kasar, tidak memfitnah, dan tidak omong kosong. Selanjutnya tidak berbuat jahat melalui mental/pikiran berarti tidak serakah, tidak benci, dan tidak bodoh/berpandangan salah.
Lebih jauh lagi bagi umat Buddha, tidak berbuat kejahatan di sini dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu melalui perbuatan, ucapan, dan mental/pikiran. Dalam hal ini, tidak bebuat jahat melalui perbuatan adalah tidak membunuh, tidak mengambil barang yang tidak diberikan, dan tidak berbuat asusila. Tidak berbuat jahat melalui ucapan berarti tidak berdusta, tidak bicara kasar, tidak memfitnah, dan tidak omong kosong. Selanjutnya tidak berbuat jahat melalui mental/pikiran berarti tidak serakah, tidak benci, dan tidak bodoh/berpandangan salah.
B. Berbuatlah Kebajikan
Kebajikan adalah
kualitas-kualitas baik dan mulia dalam diri seseorang yang memungkinkan ia
melakukan perbuatan baik yang menuntun pada pengikisan keserakahan, kebencian,
dan kebodohan, dan pada akhirnya, dengan mengikutsertakan kebijaksanaan meraih
pencerahan. Kualitas-kualitas ini contohnya kedermawanan, belas kasih,
kejujuran, kedisiplinan, ketekunan, dan lain-lain.
Setelah kita mengetahui apa itu kebajikan, kita dapat mulai mengekspresikannya melalui perbuatan-perbuatan baik. Perbuatan baik adalah semua tindakan melalui pikiran, ucapan, atau perbuatan yang mengarah pada pengikisan loba, dosa, dan moha. Atau bisa juga dikatakan sebagai semua tindakan melalui pikiran, ucapan, atau pikiran yang tidak berakar pada loba, dosa, dan moha. Kita dapat memulai perbuatan baik dari lingkungan terdekat kita, dari hal-hal yang kecil, sedikit demi sedikit. Sesungguhnya, seperti yang pernah disabdakan oleh Buddha untuk tidak memandang remeh perbuatan baik, tidak perbuatan baik yang remeh atau kecil, bila dilakukan sebagai kebiasaan, maka akan membuahkan kebahagiaan bagi diri kita dan orang lain.
Motivasi setiap orang dalam berbuat baik bisa beraneka macam. Beberapa orang yang memiliki keyakinan tertentu mengatakan alasan mereka berbuat baik adalah untuk menaati perintah Tuhan, atau untuk mendapatkan pahala surgawi. Lainnya menyatakan mereka berbuat baik demi mendapatkan kebahagiaan dalam kehidupan ini.
Pamrih-pamrih seperti itu tidaklah buruk, mengharapkan sesuatu yang baik seperti pahala surgawi atau kebahagiaan dalam kehidupan adalah hal yang cukup wajar dan pantas. Tetapi, bagi seorang umat Buddha, tujuan dari perbuatan baik seharusnya menjadi hal yang lebih tinggi daripada sekadar pahala surgawi atau kebahagiaan dalam kehidupan. Dalam hal ini kita dapat meneladan Bodhisatta.
Jadi, bagi seorang umat Buddha, motivasi termulia dalam berbuat baik seharusnya adalah untuk meraih pencerahan, kebebasan sejati. Untuk itu, dalam setiap perbuatan baik, kita dapat mengucapkan tekad, ”semoga perbuatan baik yang saya lakukan ini dapat membuahkan pencerahan sejati bagi saya, kebebasan sejati seperti yang telah Buddha dan para Arahat raih. Semoga saya tidak akan terlahir kembali di rahim mana pun.” Dengan demikian perbuatan baik yang dilakukan bukan didorong oleh kepentingan sendiri, tetapi juga atas dasar rasa belas kasih dan kepedulian bagi semua makhluk. Dalam hal ini, sekali lagi kita dapat menengok teladan yang telah diberikan oleh Bodhisatta. Beliau menyempurnaan parami-Nya untuk meraih pencerahan sempurna sebagai seorang Buddha.
Sebagai makhluk yang terlahir di alam manusia, ada banyak sekali jenis kebajikan yang dapat dilakukan. Dalam Dhammapada 53, Buddha bersabda bahwa dari setumpuk bunga dapat dibuat banyak karangan bunga. Demikian pula, dengan terlahir sebagai manusia ada banyak jenis perbuatan baik yang dapat dilakukan.
Di dalam ajaran
Buddha, jenis-jenis perbuatan baik itu dirangkum dalam sepuluh jenis, yaitu:
v Bermurah hati (Dana)
v Mengendalikan diri (Sila)
v Bermeditasi (Bhavana)
v Menghormat (Apacayana)
v Melayani (Veyyavaca)
v Melimpahkan jasa (Pattidana)
v Berbahagia atas jasa pihak lain (Pattanumodana)
v Mendengarkan Dharma (Dhammasavana)
v Mengajarkan Dharma (Dhammadesana)
v Meluruskan pandangan salah (Ditthujukamma)
Dana berarti
memberi atau bermurah hati. Ada bermacam-macam jenis dana, yaitu dana dalam
bentuk materi, nasihat, permintaan maaf, dan lain-lain, termasuk dana dalam
bentuk jiwa raga. Secara singkat dana bisa berupa materi maupun nonmateri.
Sila berarti moralitas. Dalam agama Buddha, sila di sini berarti
menjalankan lima aturan kedisiplinan. Secara umum dinyatakan bahwa sila lebih
luhur dari dana/derma. Untuk memahaminya dibutuhkan penjelasan serius. Di dunia
ini, melindungi dan menjaga orang lain dari penderitaan merupakan suatu
perbuatan mulia. Untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran orang lain
juga merupakan perbuatan mulia. Dana membantu orang lain untuk sejahtera. Sila
melindungi orang lain dari penderitaan.
Bhavana berarti
pengembangan batin atau pikiran. Secara umum kata bhavana sering disebut dengan
istilah meditasi. Bhavana adalah bentuk dari kerja pikiran untuk menenangkan
atau memurnikan pikiran. Dalam agama Buddha dikenal dua macam bhavana, yaitu
samatha bhavana dan vipassana bhavana. Samatha bhavana adalah meditasi untuk
mencapai ketenangan batin, sedangkan vipassana bhavana adalah meditasi untuk
mencapai pandangan terang.
Apacayana berarti menghormati mereka yang lebih tinggi dari kita dari segi usia, moralitas, integritas, kebijaksanaan, kebajikan, dan lain-lain. Menghormati para sesepuh seperti ayah, ibu, paman, bibi; menawarkan tempat duduk dan memberikan jalan untuk mereka yang pantas dihormati; menundukkan kepala dan menunjukkan kerendahan hati, merangkapkan tangan (beranjali) untuk menghormati bhikkhu; mengangkat topi; memberikan hormat sesuai dengan adat, dan lain-lain adalah contoh-contoh tanda menghormat.
Apacayana berarti menghormati mereka yang lebih tinggi dari kita dari segi usia, moralitas, integritas, kebijaksanaan, kebajikan, dan lain-lain. Menghormati para sesepuh seperti ayah, ibu, paman, bibi; menawarkan tempat duduk dan memberikan jalan untuk mereka yang pantas dihormati; menundukkan kepala dan menunjukkan kerendahan hati, merangkapkan tangan (beranjali) untuk menghormati bhikkhu; mengangkat topi; memberikan hormat sesuai dengan adat, dan lain-lain adalah contoh-contoh tanda menghormat.
Veyyavaca berarti membantu atau menawarkan jasa perbuatan baik untuk orang lain. Kita harus menawarkan bantuan dengan sungguh-sungguh supaya mereka dapat merasa lebih ringan, bebas dari kekhawatiran, dan kegiataan derma dapat terlaksana dengan baik. Kita juga harus membantu mereka yang sakit, yang tak berdaya, dan yang sudah lanjut usia. Kita harus menawarkan bantuan kepada orang yang tampaknya kerepotan membawa barang berat; membantu mengurangi beban orang tua kita. Demikian juga semua bentuk jasa suka rela bersifat baik yang dilakukan untuk orang lain termasuk dalam veyyavacca.
Pattidana berarti membagi jasa kebajikan kepada makhluk lain (patti = yang telah didapatkan, dana = memberi atau membagi). Seorang penderma tidak diragukan lagi pasti memperoleh manfaat dari dana yang telah dilakukannya. Kita semua, setelah melakukan jasa baik, perlu menyatakan, ”Siapa pun yang dapat mendengar ini, saya melimpahkan jasa saya. Semoga Anda semua mendapatkan manfaat sebanyak yang telah saya dapatkan.” Inilah pattidana. Sementara penderma yang hanya mengucap. ”Saya melimpahkan jasa saya’” tetapi tidak disertai niat tulus, pelimpahan semacam ini belum layak disebut pattidana.
Pattanumodana berarti ikut bergembira ketika seseorang melakukan jasa kebajikan. Ketika seseorang berbuat jasa, kita semestinya menghargainya dengan berkata ”Sadhu, Sadhu, Sadhu.” mengucapkan ”Sadhu” sudah menjadi kebiasaan, tetapi tanpa dilandasi ketulusan dalam mengucapkannya, ini bukanlah pattanumodana, hanya sekadar formalitas. Kadang seseorang tidak betul-betul merasa gembira dengan perbuatan baik orang lain, malah mengembangkan rasa cemburu dan iri. Sesuai ajaran Buddha, semestinya kita ikut merasa bahagia atas kebajikan orang lain. Merasa bahagia atas perbuatan baik yang dilakukan oleh orang lain adalah patut dipuji.
Dhammasavana berarti mendengarkan Dharma, ajaran Buddha. Mendengarkan Dharma merupakan salah satu dasar dari perbuatan bajik yang dapat dilakukan oleh kita. Kita akan mendapatkan banyak manfaat dengan mendengarkan Dharma, seperti: mendapatkan pengetahuan, memahami kenyataan dengan lebih jelas, menyingkirkan pandangan salah dan keraguan, memperoleh keyakinan benar, dan mendapatkan kebersihan pikiran melalui pengembaraan keyakinan diri dan kebijaksanaan.
Dhammadesana berarti
membabarkan Dharma. Jika ini dilakukan dengan tulus dan sungguh-sungguh,
mengajarkan Dharma melampaui segala bentuk dana lainnya. Buddha bersabda,
”Sabbadanam dhammadanam jinati” = pemberian Dhamma melampaui segala pemberian
lainnya.”
Ditthijukamma berarti memiliki pandangan benar yang tepat dan lurus. Ditthi adalah pandangan yang didasarkan pada akal budi. Jika pandangan itu tepat dan benar disebut sammaditthi. Jika pandangan itu salah disebut micchaditthi. Pertimbangkan dalam-dalam hal-hal berikut: perbuatan baik dan perbuatan buruk; akibat baik dan buruk dari perbuatan yang berkesesuaian; kehidupan sekarang dan yang akan datang bergantung pada perbuatan baik dan buruk; adanya alam deva dan brahma; mereka yang mempraktikkan jalan mulia dan mencapai jhana dan abhinna atau menjadi Arahat.
Ditthijukamma berarti memiliki pandangan benar yang tepat dan lurus. Ditthi adalah pandangan yang didasarkan pada akal budi. Jika pandangan itu tepat dan benar disebut sammaditthi. Jika pandangan itu salah disebut micchaditthi. Pertimbangkan dalam-dalam hal-hal berikut: perbuatan baik dan perbuatan buruk; akibat baik dan buruk dari perbuatan yang berkesesuaian; kehidupan sekarang dan yang akan datang bergantung pada perbuatan baik dan buruk; adanya alam deva dan brahma; mereka yang mempraktikkan jalan mulia dan mencapai jhana dan abhinna atau menjadi Arahat.
C. Sucikan Pikiran
Ajaran Buddha adalah satu-satunya ajaran yang tidak hanya
berakhir pada menghindari kejahatan dan melakukan kebajikan, tetapi juga
mengajarkan pemurnian pikiran. Pikiran merupakan akar dari semua kejahatan dan
kebajikan, dan yang menjadi sebab dari penderitaan maupun kebahagiaan sejati.
Dalam agama Buddha, kebajikan saja tidaklah cukup. Kebajikan harus disertai dengan kebijaksanaan untuk dapat membawa kita menuju tujuan tertinggi: Nibbana, kedamaian, kebebasan sejati. Kebijaksanaan di sini berarti tahu saat berarti tahu saat yang tepat dan bagaimana melakukan kebajikan itu. Tanpa kebijaksanaan kita bagaikan seekor burung yang salah satu sayapnya patah. Tanpa kebijaksanaan kita hanya akan menjadi orang baik hati yang bodoh.
Dalam agama Buddha, kebajikan saja tidaklah cukup. Kebajikan harus disertai dengan kebijaksanaan untuk dapat membawa kita menuju tujuan tertinggi: Nibbana, kedamaian, kebebasan sejati. Kebijaksanaan di sini berarti tahu saat berarti tahu saat yang tepat dan bagaimana melakukan kebajikan itu. Tanpa kebijaksanaan kita bagaikan seekor burung yang salah satu sayapnya patah. Tanpa kebijaksanaan kita hanya akan menjadi orang baik hati yang bodoh.
Kebijaksanaan dihasilkan oleh pengalaman, penalaran dan pengetahuan. Kebijaksanaan ini merupakan dasar dari perkembangan mental, moral, spiritual dan intelektual seseorang. Kebijaksanaan muncul bukan hanya didasarkan pada teori tetapi yang paling penting adalah dari pengalaman dan penghayatan ajaran Buddha.
Kebijaksanaan berkaitan erat dengan apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak perlu dilakukan. Singkatnya, kita mengetahui dan mengerti tentang masalah yang dihadapi, penyebab timbulnya masalah, masalah itu dapat dilenyapkan, dan cara untuk melenyapkan masalah tersebut.
Secara garis besar, kebijaksanaan dapat timbul karena tiga hal, yaitu melalui belajar, melalui berpikir atau menyelidiki, dan melalui meditasi (bhavana). Dalam hal ini, meditasi yang menghasilkan buah kebijaksanaan adalah meditasi pandangan terang, yaitu dengan melakukan perenungan terhadap jasmani, perasaan, bentuk-bentuk pikiran, dan kesadaran. Dengan demikian, seseorang akan dapat melihat hakikat kehidupan yang sesungguhnya, bahwa kehidupan selalu diliputi oleh ketidakkekalan, ketidakpuasan, dan ketiadaan inti yang kekal.
Rangkuman
Ajaran Buddha sangat luas dan mendalam. Namun demikian,
ajaran tersebut dapat disarikan menjadi tiga hal yaitu tidak melakukan segala
bentuk kejahatan, melaksanakan dan mengembangkan segala bentuk kebajikan, dan
memurnikan atau menyucikan pikiran. Ajaran-ajaran dimaksud bukan sekadar
bersifat materi yang hanya dimengerti/dipahami tetapi juga harus dipraktikkan
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Secara lebih terperinci, tidak berbuat kejahatan dapat diuraikan menjadi tiga kelompok, yaitu tidak berbuat kejahatan melalui pikiran, ucapan, dan perbuatan jasmani. Demikian pula perbuatan baik (kebajikan) dapat dilakukan oleh pikiran, ucapan, dan juga jasmani.
Tidak ada gunanya hanya mempelajari ajaran Buddha atau memberi pelajaran tentang itu, tanpa menerapkannya dalam praktik. Siapa pun yang menyebut dirinya Buddhis, baru memperoleh manfaat setelah melakukan introspeksi dan memperbaharui keadaan. Praktik ajaran Buddha akan membawa perubahan dalam kualitas pengalaman kita. Pada saat itulah kita tahu bahwa ajaran tersebut memiliki faedah. Jika mempraktikkan ajaran Buddha kita akan segera menyadari manfaatnya. Jika kita mencoba menghindari tindakan yang menyakiti orang lain, kita menolong orang lain, belajar menjadi lebih sadar, belajar mengembangkan kemampuan kita dalam konsentrasi pikiran, dan mengembangkan kebijaksanaan, maka tidak ada keraguan bahwa ajaran Buddha memberikan manfaat bagi kita.
Pertama-tama kita akan memperoleh kebahagiaan dan kesejahteraan dalam kehidupan ini dan kehidupan berikutnya. Pada akhirnya ajaran Buddha akan membawa kita pada tujuan akhir yaitu Kebebasan Mutlak, Kebahagiaan Tertinggi, Nibbana.
Renungan
Tidak melakukan segala bentuk kejahatan, mengembangkan kebajikan
dan membersihkan batin; inilah Ajaran Para Buddha. (Dhammapada 183)
Oleh diri sendiri kejahatan dilakukan, oleh diri sendiri pula seseorang ternoda. Oleh diri sendiri kejahatan tak dilakukan, oleh diri sendiri pula seseorang menjadi suci. Suci atau tidak suci tergantung pada diri sendiri; tak seorang pun yang dapat menyucikan orang lain. (Dhammapada 165)
[[[[[