KELUARGA BAHAGIA (HITA SUKHAYA)
PENDAHULUAN
Buddha Dhamma atau Ajaran Kebenaran yang
diberikan oleh Sang Buddha kepada umat manusia telah hampir 3000 tahun usianya
sejak pertama kali dibabarkan di Taman Rusa Isipatana, Sarnath, India. Sejak
jaman Sang Buddha masih hidup, siswa Beliau selalu terdiri dari para bhikkhu
dan umat perumahtangga biasa. Oleh karena itu, jelas, mempelajari dan
melaksanakan Buddha Dhamma bukanlah monopoli para bhikkhu saja. Umat sebagai
perumahtangga pun hendaknya juga berusaha melaksanakan Buddha Dhamma tanpa
harus menjadi bhikkhu terlebih dahulu.
Dalam pelaksanaan Buddha Dhamma tidak perlu
dibedakan warna kulit, bangsa, jenis makanan, jenis kelamin, cara berpakaian
maupun kondisi tempat tinggal. Justru hal yang perlu diperhatikan dan
dipersiapkan dalam usaha melaksanakan Buddha Dhamma adalah ketekunan, keuletan,
kesungguhan dan semangat untuk membuktikan kebenaran Ajaran Sang Buddha. Sang
Buddha tidak pernah mengharuskan para pengikut-Nya untuk menerima begitu saja
segala yang disabdakan oleh Beliau dengan hanya bermodalkan kepercayaan maupun
keyakinan yang membuta. Sang Buddha sendiri justru menganjurkan para siswa-Nya
untuk selalu menguji dan terus menguji kebenaran Ajaran Beliau sebelum menerima
serta melaksanakannya, bagaikan seorang tukang emas yang harus menguji terlebih
dahulu emas yang akan dibelinya agar mengetahui kadar emas yang sesungguhnya.
Buddha Dhamma apabila telah diuji dan dilaksanakan dengan tekun, maka akan
memberikan kebahagiaan lahir batin dalam kehidupan saat ini maupun kehidupan
setelah kematian nanti serta memberikan kondisi tercapainya kebahagiaan sejati
yaitu Nibbana / Nirvana atau Tuhan Yang Maha Esa.
PEMBAHASAN
Dalam pembahasan ini akan diuraikan beberapa
persyaratan dasar yang mendukung untuk mewujudkan kehidupan keluarga bahagia
menurut Ajaran Sang Buddha. Faktor-faktor pendukung itu adalah :
a.
Hak dan Kewajiban
Telah
disebutkan di atas bahwa Keluarga bahagia adalah komponen terpenting
pembentuk masyarakat bahagia. Untuk mendapatkan kebahagiaan tersebut maka
persyaratan utamanya adalah masing-masing anggota keluarga hendaknya saling
menyadari bahwa dalam kehidupan ini seseorang tidak akan dapat hidup sendirian,
orang pasti saling membutuhkan antara satu dengan yang lainnya. Masing-masing
pihak terikat satu dengan yang lain. Oleh karena itu, dalam kehidupan
berkeluarga agar mendapatkan kebahagiaan bersama diperlukan adanya pengertian
tentang hak dan kewajiban dari setiap anggota keluarga.
Setiap
anggota keluarga hendaknya selalu menanamkan dalam pikirannya dan melaksanakan
dalam kehidupannya Sabda Sang Buddha yang berkenaan dengan pedoman dasar
munculnya hak dan kewajiban tersebut yang terdapat pada Anguttara Nikaya I,
87 yaitu: 'Sebaiknya
orang selalu bersedia terlebih dahulu memberikan pertolongan sejati tanpa pamrih
kepada pihak lain dan selalu bersedia terlebih dahulu memberikan pertolongan
sejati tanpa pamrih kepada pihak lain dan selalu berusaha agar dapat menyadari
pertolongan yang telah diberikan Pihak lain kepada diri sendiri agar muncul
keinginan untuk menanam kebajikan kepadanya'. Pola pandangan hidup Ajaran
Sang Buddha ini apabila dilaksanakan akan dapat menjamin ketenangan,
keharmonisan dan kebahagiaan keluarga.
b.
Kemoralan
Dalam
pengembangan kepribadian yang lebih luhur, setiap anggota keluarga hendaknya
juga dilengkapi dengan kemoralan (=sila) dalam kehidupannya untuk dapat
menjaga ketertiban serta keharmonisan dalam keluarga maupun dalam masyarakat.
Tingkah laku bermoral adalah salah satu tonggak penyangga kebahagiaan keluarga
yang selalu dianjurkan oleh Sang Buddha. Bahkan secara khusus Sang Buddha
menyebutkan lima dasar kelakuan bermoral yang terdapat pada Anguttara Nikaya
III, 203 yaitu lima perbuatan atau tingkah laku yang perlu dihindari : 1.
melakukan pembunuhan / penganiayaan, 2. pencurian, 3. pelanggaran kesusilaan,
4. kebohongan dan 5. mabuk-mabukan.
Pelaksanaan
kelima hal ini selain dapat menjaga keutuhan serta kedamaian dalam keluarga
juga dapat untuk menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat. Manfaat ke dalam
batin si pelaku dari pelaksanaan Pancasila Buddhis ini adalah membebaskan diri
dari rasa bersalah dan ketegangan mental yang sesungguhnya dapat dihindari.
c.
Ekonomi
Faktor
pendukung kebahagiaan keluarga selain setiap anggota keluarga mempunyai
perbuatan yang terbebas dari kesalahan secara hukum moral maupun negara seperti
yang telah diuraikan di atas, tidak dapat disangkal lagi bahwa kondisi ekonomi
keluarga juga memegang peranan penting. Telah cukup banyak diketahui, keluarga
menjadi tidak bahagia dan harmonis lagi karena disebabkan oleh kondisi ekonomi
yang kurang layak menurut penilaian mereka sendiri. Mengetahui pentingnya
kondisi ekonomi untuk kebahagiaan keluarga maka Sang Buddha juga telah
menguraikan dengan jelas hal ini pada Anguttara Nikaya IV, 285.
Dalam
nasehat Beliau di sana disebutkan empat persyaratan dasar agar orang dapat
memperbaiki kondisi ekonomi keluarganya yaitu: bahwa pertama, orang hendaknya
rajin dan bersemangat didalam bekerja mencari nafkah. Kedua, hendaknya ia
menjaga dengan hati-hati kekayaan apapun yang telah diperoleh dengan kerajinan
dan semangat, tidak membiarkannya mudah hilang atau dicuri. Orang hendaknya
juga terus menjaga cara bekerja yang telah dilakukannya sehingga tidak
mengalami kemunduran atau kemerosotan. Ketiga, berusahalah untuk memiliki
teman-teman yang baik, dan tidak bergaul dengan orang-orang jahat, serta ke
empat adalah menempuh cara hidup yang sesuai dengan penghasilan, tidak terlalu
boros dan juga tidak terlalu kikir. Melaksanakan tuntunan cara hidup yang
diberikan oleh Sang Buddha seperti itulah yang akan mewujudkan kehidupan
keluarga menjadi bahagia secara ekonomis. Bila kondisi ekonomi keluarga telah
dapat dicapai sesuai dengan harapan para anggota keluarga tersebut maka untuk
mempertahankannya atau bahkan untuk meningkatkannya lagi dapat disimak Sabda
Sang Buddha yang lain dalam Anguttara Nikaya II, 249 yang menyebutkan
bahwa keluarga manapun yang bertahan lama di dunia ini, semua disebabkan
oleh empat hal, atau sebagian dari keempat hal itu. Apakah keempat hal itu?
Keempat hal itu adalah menumbuhkan kembali apa yang telah hilang, memperbaiki
apa yang telah rusak, makan dan minum tidak berlebihan, dan selalu berbuat
kebajikan.
Harus
disebutkan pula disini bahwa kesinambungan adanya semangat bekerja memegang
peranan penting untuk keberhasilan berusaha. Sang Buddha membahas tentang hal
ini dalam Khuddaka Nikaya 244 yaitu: ‘Bekerjalah terus pantang mundur; hasil
yang diinginkan niscaya akan terwujud sesuai dengan cita-cita’. Dan bila
semangat dapat dipertahankan serta dikembangkan maka tiada lagi kekuatan yang
mampu menghalangi keberhasilannya seperti yang disabdakan Sang Buddha
selanjutnya dalam Khuddaka Nikaya 881, bahwa seseorang yang tak
gentar pada hawa dingin atau panas, gigitan langau, tahan lapar dan haus, yang
bekerja dengan jujuh tanpa putus, siang dan malam, tidak melewatkan manfaat
yang datang pada waktunya; ia menjadi kecintaan bagi keberuntungan.
Keberuntungan niscaya meminta bertinggal dengannya.
d.
Perkawinan harmonis
Istilah
'keluarga' tentulah mengacu pada unsur terpenting pembentuk keluarga
yaitu pria dan wanita yang terikat dalam satu kelembagaan yang dikenal dengan
sebutan 'perkawinan'. Kelembagaan ini akan terus berkembang dengan lahirnya
anak sebagai keturunan. Garis keturunan ini juga akan dapat terus berlanjut
menjadi beberapa generasi penerus keluarga tersebut. Suami dan istri sebagai
unsur pertama pembentuk keluarga tentu menjadi pusat perhatian Sang Buddha
juga. Dalam salah satu kesempatan, Sang Buddha menguraikan tentang empat
persyaratan yang sebaiknya dipenuhi untuk membina perkawinan harmonis dan
membentuk keluarga bahagia baik dalam kehidupan ini maupun sampai pada
kehidupan-kehidupan yang akan datang.
Uraian
mengenai hal tersebut dapat dijumpai dalam Anguttara Nikaya II, 59 yaitu
bahwa ‘jika sepasang suami istri ingin tetap bersama, baik dalam kehidupan
sekarang maupun kehidupan mendatang, dan keduanya mempunyai keyakinan yang
sama, kebajikan yang sama, kemurahan hati yang sama, dan kebijaksanaan yang
sama, mereka akan tetap bersama dalam kehidupan sekarang maupun kehidupan
mendatang’. Sang Buddha lebih lanjut menguraikan tugas-tugas yang perlu
dilaksanakan oleh suami terhadap istrinya dan juga sebaliknya.
Oleh
karena, keluarga bahagia akan dapat dicapai apabila suami dan istri dalam
kehidupan perkawinan mereka telah mengetahui serta memenuhi hak dan
kewajibannya masing-masing seperti yang disabdakan oleh Sang Buddha dalam Digha
Nikaya III, 118 yaitu bahwa tugas suami terhadap istri adalah memuji, tidak
merendahkan atau menghina, setia, membiarkan istri mengurus keluarga, memberi
pakaian dan perhiasan. Lebih dari itu, hendaknya disadari pula oleh suami bahwa
dalam Ajaran Sang Buddha, istri sesungguhnya merupakan sahabat tertinggi suami (Samyutta
Nikaya165).
Sedangkan
tugas istri terhadap suami adalah mengatur semua urusan dengan baik, membantu
sanak keluarga suami, setia, menjaga kekayaan yang telah diperoleh, serta
rajin. Konsekuensi logis lembaga perkawinan adalah melahirkan keturunan. Dan,
Sang Buddha juga memberikan petunjukNya agar terjadi hubungan harmonis antara
orangtua dan anak serta sebaliknya. Keharmonisan ini juga terwujud apabila
masing-masing fihak menyadari dan melaksanakan tugastugasnya. Untuk itu, dalam
kesempatan yang sama Sang Buddha menguraikan tugas anak terhadap orang tua
yaitu merawat, membantu, menjaga nama baik keluarga, bertingkah laku yang patut
sehingga layak memperoleh warisan kekayaan, melakukan pelimpahan jasa bila
orangtua telah meninggal.
Lebih
lanjut dalam Khuddaka Nikaya 286 disebutkan bahwa Ayah dan ibu adalah
Brahma (makhluk yang luhur), Ayah dan ibu guru pertama juga Ayah dan ibu adalah
orang yang patut diyakini oleh putra-putrinya. Mengingat sedemikian besar jasa
serta kasih sayang orangtua terhadap anaknya maka kewajiban anak di atas
sungguh-sungguh tidak dapat diabaikan begitu saja seperti yang telah disebutkan
dalam Khuddaka Nikaya 33 yaitu bahwa 'Penghormatan, kecintaan, dan
perawatan terhadap ayah serta ibu membawa kebahagiaan di dunia ini'.
Sedangkan
dalam Khuddaka Nikaya 393 disebutkan bahwa 'Anak yang tidak merawat ayah
dan ibunya ketika tua; tidaklah dihitung sebagai anak'. Oleh karena 'Ibu adalah
teman dalam rumah tangga' (Samyutta Nikaya 163). Sedangkan tugas
orangtua terhadap anak adalah menghindarkan anak melakukan kejahatan, menganjurkan
anak berbuat baik, memberikan pendidikan, merestui pasangan hidup yang telah
dipilih anak, memberikan warisan bila telah tiba saatnya. Ditambahkan dalam Khuddaka
Nikaya 252 bahwa 'Orang bijaksana mengharapkan anak yang meningkatkan
martabat keluarga, serta mempertahankan martabat keluarga, dan tidak
mengharapkan anak yang merendahkan martabat keluarga; yang menjadi penghancur
keluarga'. Dengan adanya 'rambu-rambu' rumah tangga yang diberikan oleh Sang
Buddha di atas akan menjamin tercapainya keselamatan bahtera rumah tangga yang
sedang dijalani. Oleh karena itu, kesadaran melaksanakan Ajaran Sang Buddha
tersebut perlu semakin ditingkatkan sehingga akan meningkatkan pula baik secara
kualitas maupun kuantitas keluarga bahagia yang ada dalam masyarakat kita maupun
dalam bangsa dan negara kita.
PENUTUP
Satu kunci sederhana dalam usaha mewujudkan
kebahagiaan keluarga adalah dengan selalu mengingat prinsip Hukum Karma yaitu
'Sesuai dengan benih yang ditaburkan, demikian pula buah yang akan dipanennya'.
Jadi, apapun yang ingin kita dapatkan dalam kehidupan ini, hendaknya kita
laksanakan dahulu hal tersebut kepada fihak lain.
KEPUSTAKAAN
1. Buddha
Vacana, Renungan Harian dari Kitab Suci Agama
Buddha, disusun oleh Y.A. ShravastiDhammika, Yayasan Penerbit Karaniya, Januari
1993
2. Dhammapada,
Yayasan Dhammadipa Arama, Cetakan Kedua,
Jakarta, Agustus 1985
3. Navakovada,
H.R.H. The Late Supreme Patriarch Prince
Vajiranyanavarorasa, Yayasan Dhammadipa Arama, Cetakan Kedua, Jakarta, Agustus
1989
4. Pepatah
Buddhis, perangkum: Prayudh Payutto, pengalih
bahasa: Jan Sanjivaputta, LPD Publisher, Bangkok