VEGETARIANISME DAN KONSEP KESUCIAN DALAM AGAMA BUDDHA


Vegetarianisme 
         Ajaran Buddha sebenarnya tidak menolak ataupun menganjurkan praktik vegetarian. Di dalam sutta-sutta, Sang Buddha tidak mengatakan bahwa praktik vegetarian adalah benar atau salah. Di dalam ajaran Buddha, seseorang bebas untuk memilih apa yang akan mereka jadikan makanan, baik itu sayuran maupun daging. Mengkonsumsi makanan penting sekedar untuk bertahan hidup dalam jangka waktu lama. Mengenai hal ini Sang Buddha pernah berkata, "Semua makhluk hidup bertopang pada makanan".
         Sebelum munculnya ajaran Buddha, ada banyak brahmana dan pertapa yang percaya bahwa kesucian hanya dapat tercapai dengan jalan mengatur dengan ketat apa yang mereka makan. Berdasarkan pandangan itu mereka hanya makan nasi dan sayuran dalam jumlah yang sangat sedikit. Bahkan sering kali mereka tidak makan apa pun. Mereka percaya bahwa dengan cara ini, yang semacam penyiksaan diri, kesucian dapat tercapai. Sang Buddha menolak konsep penyucian diri dengan jalan semacam itu.
         Sang Buddha tidak menganggap bahwa vegetarian merupakan praktik moralitas. Bahkan praktik vegetarian sama sekali bukan bagian dari moralitas (sila) yang merupakan salah satu faktor dari Jalan Mulia Beruas Delapan.
         Sang Buddha menganjurkan kepada semua murid-Nya untuk mempraktikkan Dhutanga. Dhutanga secara harfiah diartikan sebagai latihan untuk menghancurkan kekotoran batin. Praktik vegetarian tidaklah termasuk dalam faktor dhutanga, yang berarti bukan merupakan faktor penting untuk mengakhiri penderitaan. Oleh karenanya, Sang Buddha tidak mendorong para murid-Nya untuk menjadi vegetarian. Tetapi Beliau menyarankan mereka untuk bersikap terkendali dalam hal makan.
         Pada masa kehidupan Sang Buddha, dalam Kanon Pali, Pacittiya, Vinaya Pitaka disebutkan bahwa ada lima jenis makanan yang biasa disajikan sebagai menu sehari-hari dan juga biasa didanakan kepada para bhikkhu, yaitu nasi, bubur beras, terigu rebus, ikan, dan daging. Selain dari lima jenis makanan di atas, disebutkan pula sembilan jenis makanan yang lebih istimewa, yaitu makanan yang dicampur dengan mentega cair, mentega segar, minyak, madu, sirup gula, ikan, daging, susu, dan dadih.
         Sembilan jenis makanan tersebut umumnya ditemukan di kalangan keluarga kaya dan mereka juga mendanakannya kepada  para bhikkhu. Para bhikkhu diperbolehkan menerima makanan itu bila didanakan oleh para umat awam, namun mereka akan dikatakan melanggar vinaya jika dengan sengaja meminta makanan tersebut kepada umat, tanpa disertai alasan tertentu, yaitu ketika mereka sedang sakit.
         Dari hal-hal di atas dapat diketahui bahwa ikan dan daging sudah biasa dikonsumsi sejak masa hidup Sang Buddha. Sang Buddha dan para murid-Nya hanya makan dari hasil pindapatta. Sang Buddha sendiri memakan daging dan memperkenankan para murid-Nya berlaku serupa, dengan catatan bahwa  daging tersebut tidak khusus disediakan atau dibunuh untuk Beliau dan para bhikkhu.
         Sebagai pendukung, ada beberapa contoh yang membuktikan bahwa daging sudah biasa dikonsumsi sebelumnya dan Kanon Pali menyebutkan bahwa ada beberapa macam daging yang didapati dalam mangkok, patta Sang Buddha.
Pada suatu ketika, di sebuah hutan, segerombolan perampok membunuh seekor sapi untuk dimakan. Pada saat yang sama, di hutan itu seorang bhikkhuni arahat bernama Uppalavamna sedang duduk bermeditasi di bawah pohon. Ketika melihat bhikkhuni tersebut, kepala gerombolan perampok menganjurkan anak buahnya untuk tidak mengganggu. Dia sendiri menggantungkan sepotong daging sapi di cabang pohon, mempersembahkannya kepada bhikkhuni ini, dan berlalu. Bhikkhuni Uppalavamna kemudian mengambil potongan daging tersebut dan mempersembahkannya kepada Sang Buddha (Nissaggiyapacittiya Pali, Vinaya Pitaka).

         Pada peristiwa lainnya, Sang Buddha dalam perjalanan menuju Kusinara (hari terakhir sebelum Sang Buddha Parinibbana). Cunda, perajin emas dari Pava, mempersembahkan makanan terhadap Sang Buddha, termasuk sukaramaddava di dalamnya. Sukaramaddava berarti daging babi berusia setahun yang dijual. Daging babi semacam ini lunak dan kaya gizi. Meskipun kata sukaramaddava ini ditafsirkan dalam banyak arti, namun arti seperti di atas didukung oleh Y.M. Buddhagosa, penulis kitab Komentar Mahaparinibbana Sutta, Digha Nikaya.
         Di dalam bukunya Y.M. Buddhagosa menyebutkan penafsiran pengajar-pengajar lain tentang sukaramaddava. Ada yang mengatakan bahwa itu adalah semacam susu beras atau puding beras susu;  beberapa lagi menyebutkan bahwa itu adalah semacam obat penguat (tonik). Belakangan ini, beberapa pelajar vegetarian menyebutkan bahwa sukaramaddava adalah sejenis jamur.
         Jadi kita mendapati adanya daging dalam mangkok Sang Buddha dan murid-Nya, tetapi Sang Buddha menganjurkan untuk menghindari memakan sepuluh jenis daging. Kesepuluh jenis daging tersebut adalah daging manusia, daging gajah, daging kuda, daging anjing, daging ular, daging singa, daging harimau, daging macan tutul, daging beruang, dan daging serigala atau hyena (Mahavagga Pali, Vinaya Pitaka).
         Seorang Bhikkhu dianjurkan untuk tidak mengkonsumsi sepuluh macam daging tersebut karena beberapa alasan yang secara ringkas tercantum di kitab Komentar Vinaya, Samattpasadika seperti berikut ini. Daging manusia tidak seharusnya dimakan karena  berasal dari spesies yang sama. Daging gajah dan kuda tidak seharusnya dimakan karena mereka adalah peliharaan dari seorang raja. Sedangkan daging anjing dan ular dikarenakan mereka termasuk jenis hewan yang menjijikkan, kelompok terakhir adalah singa, harimau, dan sebagainya, tidak seharusnya dimakan karena mereka tergolong binatang berbahaya dan jika dimakan bau daging binatang tersebut bisa membahayakan para bhikkhu yang bermeditasi di  hutan.
         Meskipun Ajaran Buddha mengizinkan para pengikut-Nya untuk mengkonsumsi daging kecuali kesepuluh jenis di atas, Beliau memberlakukan tiga persyaratan, yaitu seorang bhikkhu tidak diperbolehkan menerima daging apabila:
1.       Melihat secara langsung pada saat binatang tersebut dibunuh.
2.       Mendengar secara langsung suara binatang tersebut pada saat dibunuh.
3.       Mengetahui bahwa binatang tersebut dibunuh khusus untuk dirinya.
    Karena Sang Buddha dan para murid-Nya bersikap non-vegetarian, tidak sedikit tokoh keagamaan lainnya yang mencela Sang Buddha. Sebagai contoh, suatu ketika kepala suku Vajji yang bernama Siha mengundang Sang Buddha dan murid-Nya untuk makan siang. Siha mempersembahkan nasi dan lauk, termasuk daging yang dibelinya di pasar. Sekelompok pertapa Jain mendengar bahwa Siha mempersembahkan nasi campur daging kepada Sang Buddha. Mereka mencela Sang Buddha maupun Siha, mereka memfitnah: "Siha, sang kepala suku, telah membunuh binatang besar untuk diambil dagingnya dan dipersembahkan kepada Sang Buddha, dan sekalipun Sang Buddha mengetahuinya, Ia tetap saja memakan daging tersebut” (Siha-senaoati Sutta, Anguttara Nikaya).
         Berdasarkan Jainisme, memakan daging adalah hal yang salah. Mereka berpandangan bahwa seseorang yang memakan daging akan mewarisi setengah karma buruk yang dibuat oleh si pembunuh hewan itu. Si pembunuh membunuh hewan karena si pemakan memakan daging. Sebelum menjadi pengikut Sang Buddha, Siha adalah pengikut Mahavira, pendiri Jainisme.
“Suatu ketika, seorang tabib bernama Jivaka mengunjungi Sang Buddha dan memberitahukan tentang berita yang didengarnya. "Yang mulia, ada yang mengatakan bahwa beberapa bintang telah dibunuh untuk diambil dagingnya dan dipersembahkan kepada Pertapa Gotama. Pertapa Gotama menerimanya sekalipun mengetahui bahwa binatang itu khusus dibunuh untuk-Nya. Yang Mulia, mohon dijelaskan apakah yang mereka katakan itu benar atau tidak” (Jivaka Sutta, Majjima Nikaya).

Sang Buddha menolak kebenaran berita tersebut dan menjelaskan, bahwa barang siapa yang terlibat dalam pemotongan hewan untuk diambil dagingnya dan dipersembahkan kepada Sang Buddha dan para siswa-Nya, orang itu akan melakukan banyak kejahatan karena lima hal:
1.       dengan tujuan berdana, orang itu memerintahkan agar seekor binatang dibawa untuk dibunuh;
2.       binatang itu mengalami kesakitan dan derita ketika ditarik dengan paksa;
3.       perintah untuk membunuh binatang itu;
4.       binatang itu mengalami kesakitan dan derita ketika dibunuh;
5.       ia menyulitkan aku dan murid-murid-Ku dengan mempersembahkan makanan yang tidak sesuai untuk kami.
         Sang Buddha mengizinkan untuk mengkonsumsi daging asalkan bebas dari ketiga syarat di atas, karena memakan daging bukanlah perbuatan buruk seperti halnya perbuatan membunuh makhluk hidup. Karena itu Sang Buddha menolak kepercayaan bahwa orang yang makan daging akan ikut mewarisi perbuatan buruk dari orang yang membunuh hewan.
         Bhikkhu Devadatta, sepupu Sang Buddha, yang selalu menentang Sang Buddha, pada suatu ketika datang dan meminta Sang Buddha untuk tidak mengizinkan para bhikkhu mengkonsumsi daging dan ikan sepanjang hidup mereka, dan apabila hal itu dilanggar maka mereka dinyatakan bersalah. Dengan tegas Sang Buddha menolak permintaan Devadatta ini (Vinaya Pitaka, Culavagga,).
         Sehubungan dengan konsumsi daging, Amagandha Sutta adalah sutta yang sangat penting. Sutta yang termasuk dalam Sutta Nipata, Khudaka Nikaya, ini untuk pertama kalinya dibabarkan oleh Buddha Kassapa dan kemudian dikatakan ulang oleh Buddha Gotama.
    Pada suatu ketika, seorang pertapa yang menjalani vegetarian mendatangi Sang Buddha dan menanyakan apakah Sang Buddha memakan amagandha atau tidak. Sang Buddha bertanya kepada pertapa itu, "Apakah amagandha itu?", dan pertapa itu menjawab bahwa amagandha adalah semacam daging. Amagandha secara harfiah berarti bau daging, dalam hal ini berkonotasi sesuatu yang busuk, menjijikkan, dan kotor. Karena itulah pertapa ini memakai istilah amagandha.(Khudaka Nikaya, Sutta Nipata, Amagandha Sutta)

    Selanjutnya Sang Buddha menjelaskan bahwa sesungguhnya daging bukanlah amagandha, tetapi segala jenis kekotoran batin dan semua bentuk perbuatan jahatlah yang semestinya disebut amagandha. Dalam Khudaka Nikaya, Sutta Nipata, Amagandha Sutta dijelaskan bahwa:
1.       Membunuh, menganiaya, memotong, mencuri, berdusta, menipu, kepura-puraan, berzinah, inilah yang disebut amagandha, bukannya memakan daging.
2.       Jika seorang tidak terkendali hawa nafsunya, serakah, melakukan tindakan yang tidak baik, berpandangan salah, tidak jujur, inilah yang disebut amagandha, bukannya memakan daging.
3.       Jika seseorang berlaku kasar dan kejam, suka memfitnah, pengkhianat, tanpa belas kasih, sombong, kikir, dan tidak pernah berdana, inilah yang disebut amagandha, bukannya memakan daging.
4.       Kemarahan, kesombongan, keras kepala, bermusuhan, munafik, dengki, tidak mau mendengarkan pendapat orang lain, berhubungan dengan hal-hal yang tidak baik, inilah yang disebut amagandha, bukannya memakan daging.
5.       Jika seseorang bermoral buruk, menolak membayar hutang, pengumpat, penuh tipu daya, penuh dengan kepura-puraan, inilah yang disebut amagandha, bukannya memakan daging.
         Menurut ajaran Buddha, pemurnian dari kekotoran batin, kilesa adalah hal yang sangat penting untuk mencapai Nibbana. Kita harus berusaha dengan sungguh-sungguh untuk membersihkan pikiran, kemurnian pikiran hanya dapat dicapai melalui pengembangan kebajikan dalam diri masing-masing, yaitu melalui pengembangan moralitas, sila, konsentrasi, samadhi, dan kebijaksanaan, pañña. Kita tidak akan menjadi ternoda atau menjadi suci dengan makan daging atau sayuran.
         Telah disebutkan di atas bahwa Sang Buddha tidak pernah menganjurkan para pengikut-Nya untuk menjadi vegetarian atau non-vegetarian, namun Beliau menyarankan mereka untuk bersikap terkendali dalam hal makan, bhojana mattannuta. Apa pun yang Anda konsumsi, baik daging maupun sayuran, Anda harus mengendalikan diri terhadap rasa dari makanan itu untuk mencegah timbulnya kemelekatan pada makanan tersebut, rasatanha.
         Kemelekatan terhadap rasa dapat dikikis dengan jalan mengembangkan ketidakmelekatan terhadap makanan atau melalui perenungan tujuan makan, paccavekkhana.
         Seorang bhikkhu seharusnya mengkonsumsi makanan bukan dengan tujuan kenikmatan, bukan untuk mendapatkan kekuatan khusus, bukan untuk mengembangkan bagian tubuh agar tampak menarik, dan bukan untuk mempercantik diri. Tetapi hendaknya sekedar demi kelangsungan hidup, memelihara kesehatan, dan memungkinkan mereka tetap bisa menjalankan kehidupan suci (Apannaka Sutta, Anguttara Nikaya).
         Pada Puttamamsupama Sutta, Sang Buddha menjelaskan bagaimana seharusnya seorang bhikkhu merenungkan makanan mereka dengan mengibaratkan kabalikara sebagai daging anak sendiri. Semua jenis makanan, daging atau sayuran, disebut sebagai kabalikara.
    Sang Buddha memberi perumpamaan, "Ada sepasang suami istri dengan satu-satunya anak bayi mereka sedang menempuh perjalanan jauh. Di tengah perjalanan mareka kehabisan bekal makanan dan tidak mampu meneruskan perjalanan tanpa makanan. Di tengah cekaman bayangan kematian karena kelaparan, gagasan buruk muncul dalam pikiran mereka. Akhirnya mereka sepakat untuk membunuh bayinya dan memakan dagingnya. Selanjutnya mereka meneruskan perjalanan dengan penuh kesedihan karena telah membunuh anak satu-satunya."

    Setelah memberikan perumpamaan tersebut, Sang Buddha menjelaskan artinya melalui tanya-jawab, "O Bhikkhu, bagaimana pendapatmu? Apakah suami istri itu memakan daging bayi sendiri untuk tujuan kenikmatan, davaya, untuk mendapatkan kekuatan khusus, madaya, untuk mengembangkan bagian tubuh agar tampak menarik, mandanaya, atau untuk mempercantik diri, vibhusanaya?" Para bhikkhu menjawab, "Tidak Yang Mulia. Mereka tidak akan memakan daging anaknya karena tujuan-tujuan itu." Sang Buddha bertanya lagi, "Apakah mereka makan hanya dengan tujuan agar dapat meneruskan perjalanan mereka?" "Benar, O Yang Mulia". (Puttamamsupama Sutta)

         Menurut Puttamamsupama Sutta, hendaknya seseorang merenungkan makanannya seolah seperti daging anak sendiri. Dengan melakukan perenungan semacam ini seseorang bisa mengurangi kehausan atau kemelekatan terhadap rasa dari makanan.
         Selanjutnya, mari kita bahas mengenai makanan ditinjau dari sudut pandang Empat Kesunyataan Mulia. Menurut ajaran Buddha, makanan termasuk materi, yang berkaitan dengan agregat materi, rupa khanda. Agregat materi adalah suatu jenis penderitaan. Karena itulah makanan juga subjek dari penderitaan. Ini salah satu hal yang harus dimengerti secara benar, parinneyya.  Makanan bukanlah suatu hal yang harus dihancurkan, na pahatabba. Nafsu terhadap rasa yang ditimbulkan oleh makanan itu adalah sebab dari penderitaan, dukkhasamudaya. Sebab inilah yang harus dihancurkan, phatabba. Hilangnya nafsu terhadap rasa dari makanan adalah berakhirnya penderitaan, dukkhanirodha. Inilah yang harus dicapai, sacchikatabba. Merenungkan makanan secara benar agar bebas dari kemelekatan terhadap makanan adalah jalan menuju berakhirnya penderitaan, dukkha nirodha gamini patipada. Inilah yang seharusnya dikembangkan dalam diri masing-masing, bhavetabba.
         Menurut ajaran Buddhis, berakhirnya penderitaan adalah hal yang paling penting. Hal ini hanya bisa tercapai dengan jalan melenyapkan hawa nafsu atau kehausan, tanha.  Oleh karenanya, kita harus berupaya untuk mencabut akar dari kehausan, kemelekatan terhadap rasa yang ditimbulkan oleh apa pun yang kita makan untuk mencapai akhir dari penderitaan. Nibbana adalah tujuan akhirnya. Anda bebas menjadi vegetarian ataupun non-vegetarian. Tetapi hal penting yang harus Anda upayakan adalah melatih diri untuk menghilangkan kemelekatan terhadap rasa dari makanan yang kita makan sehari-hari.

Kesucian Dalam Agama Buddha
         Untuk menguraikan lebih jelas tentang konsep kesucian dalam agama Buddha, sebagai bahan pengkajian Hubungan Pola Hidup Vegetarianisme dengan Jalan Kesucian, maka perlu ada pembahasan tentang pengertian kesucian dalam visudhi magga, tujuh kesucian, tingkat-tingkat kesucian dan samyojana, sehingga dapat mengetahui apakah sebenarnya kesucian itu juga berhubungan dengan pola hidup vegetarian, untuk menuju jalan kesucian.

Pengertian Kesucian dalam Visudhi Magga
         Dalam buku Visudhi Magga yang artinya Jalan Kesucian atau Jalan Pembersihan; Kesucian dapat diartikan sebagai membersihkan diri dari kekotoran dan belenggu-belenggu kehidupan, Samyojana.
         Menurut susunanya, Visudhi Magga mengelompokkan ajaran Sang Buddha menjadi tiga kelompok, yaitu: Kelompok Sila, Kelompok Samadhi dan Kelompok Pañña. Dalam pembahasan praktik serta penempuhannya ia disusun dalam tujuh tingkat (Majjhima Nikaya, Mulapaññasaka Sutta,12:290) sesuai dengan tempat atau medannya, yaitu:
1.       Silavisuddhi, ialah kesucian melalui sila, yang terdiri dari: (1) mematuhi janji pelaksanaan sila yang telah diucapkannya seperti melindungi kehidupannya sendiri; (2) menjaga enam pintu-indera dan tidak membiarkan timbulnya noda; (3) mempertahankan kehidupan yang benar; (4) menggunakan keperluan hidup dengan bijaksana.
2.       Cittavisuddhi, ialah kesucian melalui pembersihan Pikiran.
Pengendalian perbuatan jasmani dan perkataan yang dikembangkan dengan kesucian sila merupakan landasan bagi pengendalian pikiran, dan menuju pada kesucian berikutnya, yaitu kesucian pikiran. Kesucian pikiran dicapai melalui konsentrasi, samadhi yang dapat dicapai melalui dua cara, yaitu Jalan Ketenangan, samathayana atau Jalan Pandangan Terang, vipassanayana.
3.       Ditthivisudhi, ialah kesucian melalui pembersihan pandangan atau keyakinan.
Kesucian batin dicapai dengan melenyapkan lima noda batin atau pancanivarana, melalui pengembangan konsentrasi. Hal ini dapat dilaksanakan melalui jalan ketenangan atau jalan pandangan terang. Meditator yang melalui jalan ketenangan mencapainya melalui konsentrasi-pendekatan atau melalui konsentrasi-tercerap yang dikembang-kan dari salah satu diantara kedelapan tingkat jhana. Jalan pandangan terang dicapai melalui konsentrasi-sesaat dengan Renungan terhadap gejala perubahan. Ketika kesucian batin tercapai dan batin menjadi terkonsentrasi atau vipassana-bhavana yang bertujuan mengembangkan kebijaksanaan atau pañña.
4.       Kankhavitaranavisuddhi, ialah kesucian melalui lenyapnya keragu-raguan.
Untuk membebaskan diri dari semua keraguan yang berkaitan dengan asal mula alam beserta isinya, perlu memahami hukum sebab dan akibat. Pengertian ini disebut sebagai pengetahuan mengenai hubungan sebab dan akibat. Dengan masaknya pengetahuan ini, kesucian mengatasi keraguan menjadi lengkap. Pengetahuan mengenai hubungan sebab dan akibat dikenal juga dengan nama pengetahuan mengenai segala seseuatu seperti apa adanya, yathanutañana, pandangan benar, sammadassana, dan pengetahuan mengenai gejala yang saling berkaitan, dhammatthitiñana. Bagi yang sudah memiliki pengalaman dalam meditasi pandangan terang pada kehidupan yang lampau, mereka mampu mengenali sebab dan kondisi yang berkaitan segera setelah mereka mengetahui perbedaan nama dan rupa.
5.       Maggamaggañanadassanavisuddhi, ialah kesucian melalui pengetahuan tentang jalan dan yang bukan jalan.
Pengertian mengenai perbedaan antara jalan yang benar dan kebalikannya, jalan yang sesat disebut sebagai jalan kesucian melalui pengetahuan dan pandangan mengenai jalan dan bukan jalan. Ketika seorang Meditator tiba pada tahap ini, telah melampaui empat tingkat kesucian. Dari tujuh kesucian, tiga yang terakhir, yaitu kesucian dengan pengetahuan mengenai jalan dan bukan jalan, kesucian dengan pengetahuan dan pandangan tentang jalan suci, dan kesucian dengan pengetahuan dan pendangan memiliki sebutan “pengetahuan dan pandangan”, tidak seperti pada tingkat-tingkat sebelumnya dimana istilah ini tidak ada. Kerena itu kesucian melalui pengetahuan mengenai jalan dan bukan jalan dapat dipandang sebagai tingkat peralihan ke dalam tingkat yang mencakup kesucian dan pengetahuan.
Saat seorang meditator mencapai tingkat kesucian dengan pengetahuan dan pendangan mengenai jalan dan bukan jalan, telah mencapai suatu tingkat kejelasan dalam kesucian dengan mengatasi keraguan. Karena telah menghilangkan pendangan yang salah dan keraguan, kemampuan konsentrasinya menjadi lebih baik dari sebelumnya. Sekarang konsentrasinya telah masak. Pikirannya jernih dan penuh daya, memahami sifat dari setiap gejala yang timbul dan mewujudkan diri sebagai nama dan rupa baginya, bersama-sama dengan sebab dan kondisi yang menimbulkannya.
Selain itu juga memperoleh dua keuntungan; Yang pertama adalah bebas dari pikiran yang melantur, khususnya ketika ia bermeditasi terue-menerus sepanjang hari; untuk meditator semacam ini pikiran yang melantur hanya muncul sekali-sekali, dan dengan mudah mengendalikannya hanya dengan mencatat dalam batin. Keuntungan kedua yang diperolehnya adalah rasa sakit yang berkurang pada waktu duduk bermeditasi; dan bahkan bila rasa sakit iru muncul, sekarang mampu mencatatnya dalam batin tanpa menjadi gelisah, sehingga menjadi lebih mudah memusatkan pikirannya pada obyek meditasi. Bahkan rasa sakit yang amat sangat telah dikuasainya, sebagai kejadian yang biasa dan tidak menganggu. Dengan kekuatan yang baru ditemukannya dapat melanjutkan pencatatan dalam batin dengan sangat tepat. Tahap ini menandai berakhirnya tahap kesucian dengan mengatasi keraguan.
6.       Patipadañanadassanavisuddhi, ialah kesucian melalui pengetahuan dan pandangan yang benar dan pandangan mengenai sang jalan.
Ketika seorang meditator dapat membersihkan kesepuluh noda pandangan terang dan kembali mencatat dalam batin, telah melengkapi kesucian melalui pengethauan dan pandangan mengenai jalan dan bukan jalan. Meditator ini memasuki tahap masak dari pengetahuan mengenai proses muncul dan lenyap. Dengan hal ini ia memulai tahap kesucian duniawi yang terakhir, kesucian melalui pengetahuan dan pandangan mengenai jalan. Kata “jalan” berarti ‘pelaksanaan’ atau proses pencapaian tujuan. Pengertian, pengetahuan atau pencerahan yang berkaitan dengan proses pencapaian adalah pengetahuan dan pendangan mengenai jakan. Kesucian atau lenyapnya noda-noda batin karena pengertian itu disebut kesucian melalui pengetahuan dan pandangan mengenai jalan. Meskipun kini pandangan terah telah berakar, pada tahap inilah muali terpapar serangkaian pandangan terang yang lengkapo dan berakhir pada pencapaian jalan luar duniawi.
Kesucian melalui pengetahuan dan pandangan mengenai jalan terdiri dari delapan tahap pengetahuan, antara lain; (1) pengetahuan melalui renungan terhadap yang muncul dan lenyap; (2) pengetahuan melalui renungan terhadap pelenyapan; (3) pengetahuan melalui renungan terhadap penempilan menakutkan; (4) pengetahuan melalui renungan tentag bahaya; (5) pengetahuan melalui renungan tentang kekecewaan; (6) pengetahuan melalui keinginan untuk bebas; (7) pengetahuan melalui renungan mengenai pantulan; (8) pengetahuan melalui keseimbangan terhadap bentuk-bentuk. Pengetahuan penyesuaian, anulomañana,  jugatermasuk dalam kesucian in sebagai tingkat yang kesembilan.
7.       Nanadassanavisuddhi, ialah kesucian melalui pengetahuan pandangan terang.
Dengan lengkapnya pengetahuan melalui keseimbangan terhadap bentuk-bentuk, keenam tahap kesucian telah lengkap. Kesucian melalui pengetahuan dan pandangan, adalah tahap yang ketujuh dan terakhir. Kesucian ini berisikan pengetahuan mengenai empat jalan luar duniawi, lokuttaara magga, yaitu;
(1)   Pandangan menuju kebebasan, Vutthanagamini vipassana; tahap yang telah sangat berkembang dari pengetahuan mengenai keseimbangan terhadap bentuk-bentuk disebut pandangan menuju kebebasan. Batin bekerja dengan bentuk-bentuk sebagai obyeknya dengan melihat bentuk-bentuk sebagai tidak kekal, penderitaan atau tanpa aku.
(2)   Pengetahuan mengenai batas perubahan keturuna, gorabuñana; Setelah pengetahuan mengenai batas perubahan berlangsung, batin meninggalkan bentuk-bentuk dan mengambil Nibbana sebagai obyeknya. Pengetahuan ini mendapat nama seperti itu karena pada titik ini medittor melewatu batas perubagan keturunan, yaitu melampui tingkatan sebagai keturunan orang biasa, puthujjana menjadi seorang Arya, ariya. Menurut definisi yang diberikan patisambidamagga, pengetahuan mengenai batas perubahan keturunan adalah pemahamam mengenai kemunculan dan berpaling dari obyek luar.
(3)   Jalan luar duniawi dan buahnya; Dalam serangkaian pengamatan yang sama, segera setelah saat pikiran batas-perubahan keturunan, tercapailah penegetahuan jalan luar duniawi, yang diikuti langsung oleh buah jalan luar duniawi. Baik pengetahuan mengenai jalan maupun buah jalan luar duniawi, keduanya mengambil Nibbana sebagai obyek.
(4)   Meninjau kembali pengetahuan, paccavekkhanañana; setelah pencapain buah sang jalan, terjadilah peninjauan kembali pengetahuan. Dengan pengetahuan ini meditator meninjau kembali lima hal: Sang Jalan, Buah dari Sang Jalan, Noda batin yang telah lenyap, Noda batin yang masih tersisa, dan Nibbana. Hal semacam ini terjadi pada Sotapana, Sakadagami, dan Anagami. Sedangkan bagi Arahat tidak ada peninjauan kembali noda batin yang masih tersisa, karena Arahat telah melenyapkannya dengan sempurna.
         Pencapaian tujuh tingkat kesucian harus melalui berbagai tahap yang harus dijalankan oleh setiap orang melalui menjalankan sila, samadhi dan mengembangkan pañña bukan dengan pola makan makanan vegetarian.

Tingkat-Tingkat Kesucian
         Tingkat kesucian dalam agama Buddha yang dimaksud adalah Ariya Puggala. Kata Ariya Puggala artinya Ariya adalah agung, mulia, baik atau benar sedangkan Puggala adalah individu, seseorang atau individu yang agung atau mulia. Namun, dalam Buddha Dhamma, ariya puggala lebih banyak diartikan sebagai makhluk suci. Makhluk suci yang dapat mencapai kesucian di sini adalah manusia maupun dewa dari alam Catummaharajika sampai N’evasañña N’asaññayatana. Ariya Puggala atau makhluk suci adalah siapa saja yang telah menghancurkan atau melenyapkan dengan tuntas tiga, lima atau sepuluh Samyojana, sehingga mencapai tingkat kesucian Sotapanna, Sakadagami, Anagami atau Arahat (Anguttara Nikaya, Atthakanipata Sutta, 23:301). Adapun tingkat-tingkat kesucian Ariya Puggala, adalah sebagai berikut:
1.       Sotapanna
         Sotapanna atau pemasuk arus berarti seseorang telah memasuki arus Nibbana. Ia pasti maju dengan teguh sepanjang Sang Jalan, Magga tanpa adanya kemungkinan mundur atau berhenti di dalam perkembangan batinnya.
         Untuk menjadi sotapanna, seseorang harus melenyapkan tiga belenggu, samyojana pertama dari sepuluh belenggu batin. Bagi seorang siswa mulia sedemikian, tidak akan ada kelahiran kembali lebih dari tujuh kali sebelum pencapaian penerangan sempurna.
         Terdapat tiga macam sotapanna, Yaitu:
a.       Ekabija Sotapanna adalah sotapanna yang akan terlahir kembali sekali lagi.
b.       Kolamkola Sotapanna adalah sotapanna yang akan terlahir kembali dua atau tiga kali lagi.
c.       Sattakhattuparana Sotapanna adalah sotapanna yang akan terlahir kembali tujuh kali lagi.
2.       Sakadagami
         Sakadagami adalah setingkat lebih tinggi daripada sotapanna seorang sakadagami akan terlahir kembali sekali lagi. Seorang yang akan menjadi sakadagami harus menghancurkan tiga belenggu pertama dari sepuluh belenggu batin, tetapi pada saat yang sama ia juga telah meperlemah kekuatan kamaraga dan patiga.
3.       Anagami
         Anagami artinya tidak kembali lagi. Anagami adalah makhluk suci yang lebih tinggi dan kuat daripada sakadagami. Untuk menjadi anagami, seseorang harus melenyapkan lima belenggu dari sepuluh belenggu. Lima belenggu pertama disebut orambhagiya samyojana.
Terdapat lima macam anagami, yaitu:
a.       Mereka yang mencapai Penerangan selama pertengahan pertama dari masa kehidupan mereka, Antara Parinibbayi.
b.       Mereka yang mencapai Penerangan selama pertengahan kedua dari masa kehidupan mereka, Upahacca Parinibbayi.
c.       Mereka yang mencapai Penerangan melalui usaha-usaha keras, Sasankhara-Parinibbayi.
d.      Mereka yang mencapai Penerangan melalui usaha-usaha ringan, Asankhara-Parinibbayi.
e.       Mereka yang mencapai alam kehidupan akanittha yaitu alam kehidupan yang tinggi, Uddhamsoto Akannitthagami.
Harus diperhatikan bahwa dua yang pertama digolongkan berdasarkan usaha-usaha mereka, sedangkan yang kelima ditandai melalui tempat tujuan mereka yang terakhir.
         Alam suddhavasa adalah alam para anagami, dengan kata lain makhluk yang terakhir kembali atau hidup di alam suddhavasa adalah hanya para anagami. Para anagami akan mencapai kesucian sempurna atau arahat dan kemudian parinibbana di alam ini. Terdapat lima macam alam suddhavasa, yaitu:
1.       Aviha, adalah alam tempat kelahiran kembali para anagami yang memiliki saddha atau keyakinan yang kuat.
2.       Atappa, adalah alam tempat kelahiran kembali para anagami yang memiliki viriya atau semangat yang kuat.
3.       Sudassa, adalah alam tempat kelahiran.
4.       Sudassi, adalah alam tempat kelahiran kembali para anagami yang memiliki samadhi atau meditasi yang kuat.
5.       Akanittha, adalah alam tempat kelahiran kembali para anagami yang memiliki pañña atau kebijaksanaan yang kuat.
4.       Arahat
         Arahat adalah siswa mulia yang telah menghancurkan semua sepuluh belenggu batin. Kehidupannya yang sekarang adalah kelahirannya yang terakhir, karena setelah meninggal dunia, parinibbana, maka tidak ada kelahiran lagi baginya dalam suatu alam kehidupan manapun.
         Ada empat macam arahat, yaitu:
a.       Arahat yang memiliki pandangan terang saja, sukhavisako.
b.       Arahat yang memiliki tiga macam pengetahuan, tevijjo.
c.       Arahat yang memiliki enam macam kekuatan batin, chalabhinno.
d.      Arahat yang memiliki empat macam kemampuan, patisambhidappatto.
         Semua arahat adalah sama kesucian mereka, namun mengenai individu arahat, terdapat beberapa perbedaan berkenaan dengan kualitas atau hasil tambahan yang dimilikinya.    

Macam-Macam Samyojana
         Samyojana artinya belenggu. Dalam kaitannya dengan Buddha Dhamma, samyojana berarti hal-hal yang membelenggu makhluk sehingga tidak dapat mencapai kebebasan. Belenggu-belenggu hanya dapat dilenyapkan oleh orang yang melaksanakan vipassana. Sekali belenggu itu telah dilenyapkan, maka belenggu itu tidak akan pernah muncul lagi. Orang yang telah melenyapakan semua belenggu disebut sebagai orang suci, arahat. Samyojana terdiri atas sepuluh macam, yaitu:
a.       Lima Belenggu-belenggu rendah, orambhagiya:
1.       Pandangan keliru mengenai adanya aku atau jiwa yang kekal, sakkayaditthi.
2.       Keragu-raguan, vicikiccha.
3.       Kepercayaan pada upacara-upacara, silabbataparamasa.
4.       Keinginan nafsu, kamaraga.
5.       Mudah tersinggung, patigaha.
b.      Lima Belenggu-belenggu tinggi, uddhambhagiya:
6.       Kegembiraan di dalam bentuk-bentuk (meditasi bentuk, ruparaga).
7.       Kegembiraan di dalam meditasi tidak berbentuk, aruparaga.
8.       Kesombongan, mana.
9.       Kegelisahan, uddhacca.
10.   Ketidaktahuan, avijja.
         Apapun yang mengikat makhluk-makhluk hidup pada lingkaran-lingkaran dan kematian, seperti sebuah rantai mengikat kuat kaki seekor kuda pada sebuag tiang, adalah disebut belenggu batin. Seseorang yang telah mampu melepaskan diri dari belenggu batin maka dapat disebut sebagai orang suci atau telah mencapai kesucian.
         Pola hidup vegetarian dalam pandangan Agama Buddha bersifat tidak wajib, dalam arti boleh dilakukan, tetapi sifatnya tidak harus untuk dilaksanakan. Pola hidup vegetarian sangat bermanfaat untuk melatih diri dalam mengembangkan rasa belas kasihan, karuna. Pola hidup vegetarian tidak ada hubungannya dengan upaya manusia untuk mencapai tingkat kesucian, sebab kesucian dapat dicapai hanya dengan jalan melepaskan diri dari belenggu kehidupan, samyojana.

Postingan populer dari blog ini

KELUARGA BAHAGIA (HITA SUKHAYA)

LAMBANG KEMENAG

INTISARI AJARAN AGAMA BUDDHA