KEMERDEKAAN SEJATI

Yo sahassa sahassena, sagāme mānuse jine; ekañca jeyyamattāna, sa ve sagāmajuttamo.

Walaupun seseorang dapat menaklukkan ribuan musuh dalam ribuan kali pertempuran, namun sesungguhnya penakluk terbesar adalah orang yang dapat menaklukkan dirinya sendiri.

Dhammapada: Bab VIII, Sahassa Vagga:103

Kemerdekaan adalah hak segala bangsa termasuk bangsa Indonesia yang telah diraihh melalui perjuangan, pengorbanan, dan persatuan seluruh rakyat. Bangsa Indonesia meraih kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 yang menjadi tonggak sejarah lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdaulat. Sebagai bagian dari Bangsa Indonesia umat Buddha, memiliki tanggung jawab moral untuk mengisi kemerdekaan dengan tindakan yang selaras dengan Dhamma (ajaran kebenaran) yang membimbing menuju kebahagiaan sejati.

 Dalam Agama Buddha Kemerdekaan bukan hanya bebas dari penjajahan fisik, tetapi juga terbebas dari perbudakan atau belenggu batin seperti kebencian (dosa), keserakahan (lobha), dan kebodohan batin (moha). Oleh karena itu, dalam Semarak Kemerdekaan dalam Cahaya Dhamma mengajak segenap umat Buddha untuk merenungkan makna kemerdekaan sejati, baik secara lahir maupun batin (nama-rupa).

Makna Kemerdekaan Menurut Perspektif Dhamma adalah kebebasan sejati (vimutti), yaitu terbebas dari penderitaan (dukkha) melalui pemahaman benar. Hal ini selaras dengan cita-cita kemerdekaan bangsa: hidup adil, damai, dan sejahtera.

Sebagaimana tercantum dalam Dhammapada 204:

Ārogyaparamā lābhā, santuṭṭhiparama dhanavissāsaparamā ñāti,                 nibbāna parama sukha.

“Kesehatan adalah keuntungan terbesar, kepuasan adalah kekayaan terbesar, sahabat yang terpercaya adalah kerabat terbaik, Nibbāna adalah kebahagiaan tertinggi.”

Yang memiliki makna bahwa Kemerdekaan secara fisik yang kita nikmati saat ini harus, diimbangi dengan kemerdekaan secara batin, agar kebahagiaan yang kita rasakan menjadi utuh dan sempurna.

Ajaran Buddha, atau Dhamma, memberikan jalan yang jelas menuju kemerdekaan batin. Mari kita renungkan beberapa poin utama:

  1. Terbebas dari Keserakahan (Lobha): Keserakahan membuat kita merasa tidak pernah cukup. Kita terus mengejar kekayaan, kekuasaan, dan kenikmatan tanpa batas. Dalam Dhamma, Buddha mengajarkan tentang hidup secukupnya (appiccha) dan puas dengan apa yang ada (santutthi). Dengan mempraktikkan hal ini, kita membebaskan diri dari beban keinginan yang tak ada habisnya. Ini bukan berarti kita tidak boleh berusaha, tetapi kita melakukannya tanpa keterikatan yang berlebihan.
  2. Terbebas dari Kebencian (Dosa): Kebencian adalah api yang membakar diri sendiri dan orang lain. Dendam, iri hati, dan permusuhan adalah belenggu yang membuat batin kita tidak tenang. Buddha mengajarkan metta (cinta kasih). Dengan mengembangkan metta, kita melepaskan kebencian dan menggantinya dengan niat baik kepada semua makhluk, tanpa terkecuali. Metta adalah kunci menuju kedamaian batin dan harmoni sosial. Dalam Nikāya IV.3 (Vera Sutta) – Bebas dari kebencian adalah jalan menuju kebahagiaan sejati. Dan Samyutta Nikāya 35.28 (Ādittapariyāya Sutta) – Semua indra terbakar oleh nafsu, kebencian, dan delusi; kebebasan muncul ketika api ini padam. 
  1. Terbebas dari Kebodohan Batin (Moha): Kebodohan batin adalah akar dari semua penderitaan. Ini adalah ketidakmampuan kita melihat kenyataan sebagaimana adanya, yaitu Anicca (ketidakkekalan), Dukkha (penderitaan), dan Anatta (tanpa inti yang kekal). Dhamma, melalui latihan samadhi (konsentrasi) dan panna (kebijaksanaan), membantu kita menembus kegelapan moha. Dengan kebijaksanaan, kita memahami bahwa segala sesuatu adalah tidak kekal, sehingga kita bisa lebih menerima perubahan dan melepaskan kemelekatan.

Dalam Majjhima Nikāya 75 (Māgandiya Sutta) – Sang Buddha menjelaskan bahwa kebahagiaan sejati bukan berasal dari kenikmatan indriawi, melainkan dari bebasnya batin dari nafsu keinginan.

Selain itu ada beberapa Nilai-nilai Dhamma dalam Mengisi Kemerdekaan yang dapat kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari, yaitu:

  • Metta (Cinta Kasih)

Menghargai sesama tanpa memandang suku, agama, ras, atau golongan, sesuai dengan semangat Bhinneka Tunggal Ika.

  • Karuna (Welas Asih)

Membantu mereka yang membutuhkan tanpa pamrih, meneladani perjuangan para pahlawan yang berkorban demi kesejahteraan bersama.

  • Upekkha (Keseimbangan Batin)

Menjaga ketenangan hati di tengah perbedaan, sehingga tercipta persatuan dan perdamaian.

  • Samma Vaca (Ucapan Benar) dan Samma Kammanta (Perbuatan Benar)

Menghindari ujaran kebencian dan perilaku yang merugikan, serta mengisi kemerdekaan dengan karya positif.

 

Dengan mempraktikkan ajaran-ajaran ini, kita tidak hanya menjadi warga negara yang baik yang mengisi kemerdekaan dengan hal-hal positif, tetapi juga menjadi individu yang merdeka secara batin. Kemerdekaan yang sejati adalah ketika kita mampu mengendalikan diri kita sendiri, bukan dikendalikan oleh keinginan, kemarahan, atau kebodohan.

Semarak kemerdekaan yang kita rasakan saat ini hendaknya tidak hanya berhenti pada perayaan seremonial. Marilah kita jadikan momen ini sebagai momentum untuk melakukan "revolusi mental" dalam diri kita. Kita isi kemerdekaan dengan:

  • Pendidikan: Terus belajar dan mengembangkan kebijaksanaan, baik melalui Dhamma maupun ilmu pengetahuan umum.
  • Pengabdian: Berkontribusi positif bagi masyarakat, menolong sesama, dan menjaga keharmonisan.
  • Persatuan: Mengembangkan toleransi dan saling menghormati, sebagaimana Bhinneka Tunggal Ika yang juga selaras dengan Dhamma.

Mari kita semarakkan kemerdekaan bangsa dengan cahaya Dhamma, menjadikannya lentera yang membimbing kita menuju kemerdekaan sejati, yaitu Nibbana.

Semoga semua makhluk hidup berbahagia. Sādhu, Sādhu, Sādhu.

Daftar Pustaka

  1. Buddha, Gotama. Dhammapada. Terjemahan Indonesia. Jakarta: Ehipassiko Foundation, 2005.
  2. Buddhaghosa, B. (2010). Visuddhimagga: The Path of Purification. Terjemahan oleh Bhikkhu Ñāamoli. Buddhist Publication Society.
  3. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. Sejarah Perjuangan Kemerdekaan Indonesia. Jakarta: Kemendikbud, 2015.
  4. Sutta Pitaka: Dhammapada, Mangala Sutta, Metta Sutta.
  5. Walshe, M. (1995). The Long Discourses of the Buddha: A Translation of the Digha Nikaya. Wisdom Publications.

Postingan populer dari blog ini

KELUARGA BAHAGIA (HITA SUKHAYA)

INTISARI AJARAN AGAMA BUDDHA

KONSEP PENDIDIKAN AGAMA BUDDHA